Minggu, 02 Desember 2012

HARAPAN BUAT KAHMI DAN MAHFUD MD


Ketua Mahkamah Konstitusi Mahfud MD mengalahkan Ketua Umum Partai Demokrat Anas Urbaningrum dalam presidium Musyawarah Nasional Korps Alumni Himpunan Mahasiswa Islam (Munas KAHMI) ke-IX periode 2012-2017 di Kabupaten Kampar, Riau. Dalam pemilihan presidium yang berakhir pukul 03.30 WIB dini hari tadi, Mahfud berhasil mengungguli Vina dan Anas dalam menempati posisi teratas presidium KAHMI.
Berdasarkan hasil Munas KAHMI ke-IX yang dihadiri 1000 anggota dari seluruh Indonesia, terpilih sembilan orang presidium yang menjadi anggota Majelis Nasional KAHMI, yakni Mahfud MD yang meraih 347 suara dan anggota DPR Viva Yoga Mauladi yang meraih 334 suara. Sedangkan nama Anas Urbaningrum hanya menempati posisi tiga setelah meraih 320 suara, kemudian disusul Muhammad Marwan 313 suara, Anis Baswedan 308 suara, Bambang Soesatyo 260 suara, Reni Marlina 192 suara, mantan Menteri Kehutanan Malam Sambat Kaban 156 suara dan Taufiq Hidayat 153 suara.
Akan tetapi, pimpinan dalam KAHMI bersifat kolektif, di mana Majelis Nasional KAHMI bersifat presidium yang bersifat kolektif kolegial. Walaupun Mahfud meraih suara terbanyak atau tempat teratas, bukan berarti Ketua Mahkamah Konstitusi tersebut menjadi ketua umum karena tidak ada istilah ketua umum dalam KAHMI. Jika kalau jabatan ketua umum, maka organisasinya dengan sistem presidensil. Kalau KAHMI memakai sistem presidium, jadi kesembilan orang yang terpilih dapat menjadi ketua. Karena kepemimpinan dalam KAHMI bersifat kolektif kolegial.
Terpilihnya Mahfud MD sebagai Ketua Presedium Korps Alumni Himpunan Mahasiswa Islam (KAHMI) dianggap mereflrksikan keinginan seluruh peserta Munas ke-IX di Riau. Dari awal perserta Munas, tak ingin KAHMI dipimpin politisi. Jadi, kepimpinan Mahfud MD ini sudah dapat mewakili apa yang diharapkan peserta Munas pada umumnya. Dimana peserta mengharapkan agar KAHMI jangan dimpimpin seorang politisi. keinginan peserta Munas untuk tidak memilih ketua dari unsur politisi, agar kepengurusan KAHMI bisa lebih independen. Sehingga peserta Munas mengharapkan ketua umum KAHMI dari kalangan birokrasi, atau akademisi.
Para peserta menilai, jika pucuk pimpinan dari politisi, mau tidak mau, nantinya KAHMI juga terkesan ikut dalam partai tersebut. Menghindari hal itulah, Mahfud MD sudah paling pas memimpin KAHMI, karena dia dari kalangan akademisi.
Bersyukur Mahfud dapat terpilih dalam suasana yang demokratis dan jauh dari politik uang. Karena proses pemilihan presidium KAHMI berlangsung secara fair.  Artinya bahwa, KAHMI masih bagus, dewasa dalam berdemokrasi. Ini Munas yang bergairah dalam suasana demokratis. Ada kontes yang terbuka tapi fair, tak ada isu kecurangan atau pun politik uang. 
Hasil Munas KAHMI merupakan cermin bahwa warga KAHMI masih punya kepekaan hati nurani. Buktinya, Mahfud MD diminta jadi calon ketua.  Mahfud datang apa adanya, tak ada tim sukses yang menggalang agar Dia menang, tetapi secara obyektif para peserta Munas memilihnya dengan suara terbanyak. 
Keberadaan Korps Alumni Himpunan Mahasiswa Islam (KAHMI) harus memberikan manfaat dalam segala lini kehidupan bagi umat Islam, dan bangsa Indonesia. KAHMI harus mampu berperan proaktif dalam menyelesaikan permasalahan-permasalahan yang mendera umat Islam dan bangsa Indonesia dewasa ini.
Sebagai kelompok para cendekiawan, KAHMI diharapkan mampu merespons berbagai isu dan masalah yang terjadi di masyarakat. Sebagai wadah intelektual para alumni HMI, KAHMI harus berkontribusi secara riil terhadap berbagai masalah atau isu yang berkaitan dengan kehidupan umat, bangsa dan negara. Misalnya melalui peningkatan kualitas sumberdaya manusia, pemberdayaan ekonomi, serta pemberdayaan umat.
Namun, sikap proaktif KAHMI, haruslah tetap menampakkan sikap independensinya. KAHMI bisa lebih optimal dalam merespons berbagai permasalahan umat dan bangsa jika tetap mengedepankan sikap independen. KAHMI akan mampu memainkan perannya dalam membantu pemerintah merespons isu-isu penting. Terlebih KAHMI sebagai wadah para kaum intelektual sudah terstruktur dari tingkat pusat hingga ke daerah.
Sebagai sebuah wadah, KAHMI sudah makin tanpak hingga ke berbagai wilayah Tanah Air. Diharapkan wadah KAHMI yang sudah menasional ini juga bisa memberikan dorongan bagi kemajuan kader-kader HMI. Selain itu, keberadaan KAHMI kedepannya harus bisa memperkuat kekuatan masyarakat sipil (civil society), terutama dalam menambah kelompok kelas menengah (middle class) untuk pengembangan demokrasi yang lebih baik bagi umat Islam dan bangsa Indonesia.
KAHMI harus menguatkan kekuatan masyarakat sipil yang bisa bermanfaat bagi bangsa dan umat. Terutama, diharapkan dapat menambah kekuatan middle class untuk pengembangan demokrasi yang lebih baik ke depannya. Sebagai wadah alumni HMI yang penuh dengan pengembangan ide, dan gagasan, KAHMI harus mempu memberikan yang terbaik buat umat, dan bangsa Indonesia.
Namun, KAHMI sebagi bagian dari civil society yang kritis, harus tetap independen, dan mampu membatasi intervensi dengan negara. Karena itu, KAHMI secara lembaga harus tetap menjaga independensinya dengan kelompok politik manapun dan tidak tersubordinasi dengan Negara. Bersihkan KAHMI ini dari unsur-unsur kepentingan politik jangka pendek, kasihanilah KAHMI ini. Jangan dijadikan sebagai alat politik dari kelompok-kelompok politik tertentu, hingga menjadi gerakan moral yang kuat tapi berpengaruh Ke depan, KAHMI harus mampu berkontribusi lebih besar lagi dalam menuntaskan berbagai masalah yang ada, seperti masalah ekonomi, hukum, soosial, politik, dan budaya.

BIOGRAFI MAHFUD MD
Mahfud nama lengkapnya Mohammad Mahfud dilahirkan pada 13 Mei 1957 di Omben, Sampang Madura, dari pasangan Mahmodin dan Suti Khadidjah. Mahfud adalah anak keempat dari tujuh bersaudara, Tiga kakaknya antara lain Dhaifah, Maihasanah dan Zahratun. Sementara ketiga adiknya bernama Siti Hunainah, Achmad Subkhi dan Siti Marwiyah. 
Mahmodin, ayahanda Mahfud berasal Desa Plakpak, Kecamatan Pangantenan - Pamekasan Madura ini hanyalah seorang pegawai rendahan di kantor Kecamatan Omben, Kabupaten Sampang. Nah, inisial MD di belakang nama Mahfud adalah singkatan dari nama ayahnya, Mahmodin, dan bukan merupakan gelar akademik seperti sebagian orang menganggapnya.

Sebenarnya sampai lulus SD tidak ada inisial MD di belakang nama Mahfud. Baru ketika ia memasuki sekolah lanjutan pertama, tepatnya masuk ke Pendidikan Guru Agama (PGA), tambahan nama itu bermula. Saat di kelas I sekolah tersebut ada tiga murid yang bernama Mohammad Mahfud. Hal itu membuat wali kelasnya meminta agar di belakang setiap nama Mahfud diberi tanda A, B, dan C. Namun karena kode tersebut dirasa seperti nomer becak, wali kelas lalu memutuskan untuk memasang nama ayahnya masing-masing dibelakang nama Mahfud.
Jadilah Mahfud memakai nama Mahfud Mahmodin sedangkan teman sekelasnya yang lain bernama Mahfud Musyaffa’ dan Mahfud Madani. Dalam perjalanannya, Mahfud merasa bahwa rangkaian nama Mahfud Mahmodin terdengar kurang keren sehingga Mahmodin disingkatnya menjadi MD. Tambahan nama inisial itu semula hanya dipakai di kelas, tetapi pada waktu penulisan ijazah kelulusan SMP (PGA), inisial itu lupa dicoret sehingga terbawa terus sampai ijazah SMA, Perguruan Tinggi, dan Guru Besar. Hal itu disebabkan karena nama pada ijazah di setiap tingkat dibuat berdasarkan nama pada ijazah sebelumnya. Berangkat dari situlah nama resmi Mahfud menjadi Moh. Mahfud MD. 

Pendidikan Mahfud MD
Sejak kecil Mahfud dididik berdasarkan pemahaman religi Islam yang kuat, sebagaimana orang Madura pada umumnya, yakni selain pendidikan formal di sekolah dasar di pagi hari, siangnya harus sekolah madrasah diniyah, lalu malamnya ngaji di surau (Nah, yang ini beneran mirip waktu saya waktu kecil). 
Setamat dari SD, Mahfud dikirim belajar ke Sekolah Pendidikan Guru Agama (PGA) Negeri di Pamekasan. Pada masa itu, ada kebanggaan tersendiri bagi orang Madura kalau anaknya bisa menjadi guru ngaji, ustadz, kyai atau guru agama. Lulus dari PGA, Mahfud terpilih mengikuti Pendidikan Hakim Islam Negeri (PHIN), sebuah sekolah kejuruan unggulan milik Departemen Agama yang terletak di Yogyakarta. Sekolah ini merekrut luluan terbaik dari PGA dan MTs seluruh Indonesia.
Begitu tamat dari PHIN pada 1978, rencananya hendak melanjutkan sekolah ke PTIQ (Perguruan Tinggi Ilmu al-Qur'an) di Mesir. Namun, sambil menunggu persetujuan beasiswa, Mahfud coba-coba kuliah di Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia (UII - Yogyakarta) dan Fakultas Sastra (Jurusan Sastra Arab) UGM. Eh, dia terlanjur betah di kampus ini. Rupanya Mahfud merasa jiwanya lebih cocok di dunia hukum. Maka ditinggalkan-lah bangku kuliah di Fakultas Sastra UGM dan berkonsentrasi di Fak Hukum UII.
Meski harus membiayai sendiri kuliahnya, dia pun mampu lulus sebagai sarjana hukum UII pada tahun 1983. Nah, sekian waktu menggeluti ilmu dan dunia hukum, Mahfud merasakan kekecewaan. Ia rupanya sadar bahwa peran dan posisi hukum relatif dan seringkali dikalahkan oleh keputusan-keputusan politik. Akibat intervensi politik ini pun segala perangkat hukum menjadi tumpul.
Kesadaran inilah yang kemudian mendasari Mahfud ingin belajar ilmu politik.Maka tanpa ragu, begitu peluang menempuh S-2 ilmu politik didapat, Mahfud pun mengambil program pasca sarjana tersebut tahun 1985 di UGM. Mahfud memang mendapat beasiswa penuh dari UII sebagai perguruan tinggi yang mensponsori studinya ini. Di tempat inilah, Mahfud cukup beruntung karena Mahfud menerima mata kuliah langsung dari dosen-dosen Ilmu Politik terkenal seperti Moeljarto Tjokrowinoto, Mochtar Mas’oed, Ichlasul Amal, Yahya Muhaimin, Amien Rais, dan lain-lain.
Selepas lulus dari Program S-2 Ilmu Politik, Mahfud kemudian mengikuti pendidikan Doktor (S-3) dalam Ilmu Hukum Tata Negara di Program Pasca Sarjana UGM sampai akhirnya lulus sebagai doktor (1993). Disertasi doktornya tentang “Politik Hukum” cukup fenomenal dan menjadi bahan bacaan pokok di program pascasarjana bidang ketatanegaraan pada berbagai perguruan tinggi karena pendekatannya yang mengkombinasikan dua bidang ilmu yaitu ilmu hukum dan ilmu politik.
Mahfud sempat juga menjabat sebagai Direktur Pascasarjana UII pada 1998-2001. Dalam rentang waktu yang sama yakni 1998-1999 Mahfud juga menjabat sebagai Asesor pada Badan Akreditasi Nasional Perguruan Tinggi. Puncaknya, Mahfud MD dikukuhkan sebagai Guru Besar atau Profesor bidang Politik Hukum pada tahun 2000, dalam usia masih relatif muda yakni 40 tahun.
Pencapain itu diraih Mahfud saat usianya baru akan menginjak 41 tahun. Tidak heran jika pada waktu itu, Mahfud tergolong sebagai Guru Besar termuda di zamannya. Satu nama yang dapat disejajarkan adalah Yusril Ihza Mahendra, yang juga meraih gelar Guru Besar pada usia muda.
Mahfud pun tercatat sebagai dosen tetap Fakultas Hukum UII pertama yang meraih derajat Doktor pada tahun 1993. Dia meloncat mendahului bekas dosen dan senior-seniornya di UII, bahkan tidak sedikit dari bekas dosen dan senior-seniornya yang kemudian menjadi mahasiswa atau dibimbingnya dalam menempuh pendidikan pascasarjana.

Organisasi Kemahasiswaan Kala di Bangku Kuliah
Sejak masih di bangku belajar, Mahfud sepertinya mulai tertarik dengan hingar bingar kampanye pemilu kala orde baru berkuasa. Nah, ini kemudian ditumpahkan setelah ia masuk perguruang tinggi. Mahfud lalu aktif di organisasi ekstra universiter Himpunan Mahasiswa Islam (HMI). Aktivitas politik praktis ala mahasiswa di kampus pun menjadi salah satu bagian keseharian dia. Hal ini dibuktikan karena selain di HMI, ia juga malang melintang di berbagai organisasi kemahasiswaan intra universiter seperti Senat Mahasiswa, Badan Perwakilan Mahasiswa, termasuk di lembaga press kampus. Atribut sebagai aktivis mahasiswa ini, tentu memungkinkan dia melampiaskan energi politik praktisnya kala itu. 
Mahfud juga tercatat pernah menjadi pimpinan di majalah Mahasiswa Keadilan (tingkat Fakultas hukum - UII), serta memimpin Majalah Mahasiswa Muhibbah (tingkat universitas). Karena begitu kritis terhadap pemerintah Orde Baru, Majalah Muhibbah yang pernah dipimpinnya pernah dibreidel sampai dua kali. Pertama dibreidel oleh Pangkopkamtib Soedomo (tahun 1978) dan terakhir dibreidel oleh Menteri Penerangan Ali Moertopo pada tahun 1983.

Keluarga Yang Berbahagia
Mahfud MD menikah dengan Zaizatun Nihayati (dipanggil Yatie), gadis teman kuliahnya di Fakultas Hukum UII Yogyakarta, pada tahun 1982. Yatie adalah perempuan kelahiran Jember, 18 November 1959 anak kedua dari delapan bersaudara pasangan Sya’roni dan Shofiyah. Zaizatun Nihayati berijazah Sarjana Hukum dan pernah bekerja sebagai guru SMU. Tetapi ketika Mahfud diangkat menjadi menteri dan harus berpindah ke Jakarta maka pekerjaannya sebagai guru ditinggalkan, sampai sekarang.
Mahfud dan Yatie bertemu pertama kali pada 1978 saat keduanya sama-sama aktif di Himpunan Mahasiswa Islam (HMI).  Sejak 1979, keduanya mulai dekat dan akhirnya berpacaran. Hubungan keduanya bertahan lama, sehingga pada 2 Oktober 1982, Mahfud dan Yatie resmi menikah di Semboro, Tanggul, Jember. Dari pernikahan itu, Mahfud dan Yatie dikaruniai tiga orang anak. Pertama adalah Mohammad Ikhwan Zein, laki-laki kelahiran 15 Maret 1984, anak kedua adalah Vina Amalia, gadis yang lahir 15 juli 1989, dan yang ketiga, adalah Royhan Akbar, lahir 7 Februari 1991.

Soal pendidikan, Mahfud mempercayakan ketiga anak-anaknya untuk menempuh sekolah di sekolah-sekolah formal dan tidak ada satupun yang dimasukkan ke pesantren.  Mahfud menilai pesantren belum bisa memberi jawaban terhadap tantangan pendidikan sekarang. Barangkali pesantren bisa membekali untuk tahapan basic (dasar) hingga SLTP. Tapi untuk tahap sesudah itu, pesantren kalau kondisinya seperti sekarang, belum bisa diandalkan untuk mengantarkan anak menyongsong masa depan yang semakin berat.
Akhirul kalam, Selamat buat Mahfud MD semoga dapat menjalankan amanah dengan baik. Amin. Wassalam… (Lafran Pane)

Tidak ada komentar: