
Ketua Mahkamah Konstitusi Mahfud MD mengalahkan
Ketua Umum Partai Demokrat Anas Urbaningrum dalam presidium Musyawarah Nasional
Korps Alumni Himpunan Mahasiswa Islam (Munas KAHMI) ke-IX periode 2012-2017 di
Kabupaten Kampar, Riau. Dalam pemilihan presidium yang berakhir pukul 03.30 WIB
dini hari tadi, Mahfud berhasil mengungguli Vina dan Anas dalam menempati
posisi teratas presidium KAHMI.

Berdasarkan hasil Munas KAHMI ke-IX yang dihadiri
1000 anggota dari seluruh Indonesia, terpilih sembilan orang presidium yang
menjadi anggota Majelis Nasional KAHMI, yakni Mahfud MD yang meraih 347 suara
dan anggota DPR Viva Yoga Mauladi yang meraih 334 suara. Sedangkan nama
Anas Urbaningrum hanya menempati posisi tiga setelah meraih 320 suara, kemudian
disusul Muhammad Marwan 313 suara, Anis Baswedan 308 suara, Bambang Soesatyo
260 suara, Reni Marlina 192 suara, mantan Menteri Kehutanan Malam Sambat Kaban
156 suara dan Taufiq Hidayat 153 suara.

Akan tetapi, pimpinan dalam KAHMI bersifat
kolektif, di mana Majelis Nasional KAHMI bersifat presidium yang bersifat
kolektif kolegial. Walaupun Mahfud meraih suara terbanyak atau tempat teratas,
bukan berarti Ketua Mahkamah Konstitusi tersebut menjadi ketua umum karena
tidak ada istilah ketua umum dalam KAHMI. Jika kalau jabatan ketua umum,
maka organisasinya dengan sistem presidensil. Kalau KAHMI memakai sistem
presidium, jadi kesembilan orang yang terpilih dapat menjadi ketua. Karena
kepemimpinan dalam KAHMI bersifat kolektif kolegial.

Terpilihnya Mahfud MD sebagai Ketua Presedium Korps
Alumni Himpunan Mahasiswa Islam (KAHMI) dianggap mereflrksikan keinginan
seluruh peserta Munas ke-IX di Riau. Dari awal perserta Munas, tak ingin KAHMI
dipimpin politisi. Jadi, kepimpinan Mahfud MD ini sudah dapat mewakili apa yang
diharapkan peserta Munas pada umumnya. Dimana peserta mengharapkan agar KAHMI
jangan dimpimpin seorang politisi. keinginan peserta Munas untuk tidak memilih
ketua dari unsur politisi, agar kepengurusan KAHMI bisa lebih independen.
Sehingga peserta Munas mengharapkan ketua umum KAHMI dari kalangan birokrasi,
atau akademisi.
Para peserta menilai, jika pucuk pimpinan dari
politisi, mau tidak mau, nantinya KAHMI juga terkesan ikut dalam partai
tersebut. Menghindari hal itulah, Mahfud MD sudah paling pas memimpin KAHMI,
karena dia dari kalangan akademisi.

Bersyukur Mahfud dapat terpilih dalam suasana yang
demokratis dan jauh dari politik uang. Karena proses pemilihan presidium KAHMI
berlangsung secara fair. Artinya bahwa, KAHMI masih bagus, dewasa dalam
berdemokrasi. Ini Munas yang bergairah dalam suasana demokratis. Ada kontes
yang terbuka tapi fair, tak ada isu kecurangan atau pun politik uang.
Hasil Munas KAHMI merupakan cermin bahwa warga
KAHMI masih punya kepekaan hati nurani. Buktinya, Mahfud MD diminta jadi calon
ketua. Mahfud datang apa adanya, tak ada tim sukses yang menggalang agar Dia
menang, tetapi secara obyektif para peserta Munas memilihnya dengan suara terbanyak.

Keberadaan Korps Alumni Himpunan Mahasiswa Islam
(KAHMI) harus memberikan manfaat dalam segala lini kehidupan bagi umat Islam,
dan bangsa Indonesia. KAHMI harus mampu berperan proaktif dalam menyelesaikan
permasalahan-permasalahan yang mendera umat Islam dan bangsa Indonesia dewasa
ini.

Sebagai kelompok para cendekiawan, KAHMI diharapkan
mampu merespons berbagai isu dan masalah yang terjadi di masyarakat. Sebagai
wadah intelektual para alumni HMI, KAHMI harus berkontribusi secara riil
terhadap berbagai masalah atau isu yang berkaitan dengan kehidupan umat, bangsa
dan negara. Misalnya melalui peningkatan kualitas sumberdaya manusia,
pemberdayaan ekonomi, serta pemberdayaan umat.

Namun, sikap proaktif KAHMI, haruslah tetap
menampakkan sikap independensinya. KAHMI bisa lebih optimal dalam merespons
berbagai permasalahan umat dan bangsa jika tetap mengedepankan sikap
independen. KAHMI akan mampu memainkan perannya dalam membantu pemerintah
merespons isu-isu penting. Terlebih KAHMI sebagai wadah para kaum intelektual
sudah terstruktur dari tingkat pusat hingga ke daerah.

Sebagai sebuah wadah, KAHMI sudah makin tanpak
hingga ke berbagai wilayah Tanah Air. Diharapkan wadah KAHMI yang sudah
menasional ini juga bisa memberikan dorongan bagi kemajuan kader-kader HMI.
Selain itu, keberadaan KAHMI kedepannya harus bisa memperkuat kekuatan
masyarakat sipil (civil society), terutama dalam menambah kelompok kelas
menengah (middle class) untuk pengembangan demokrasi yang lebih baik bagi umat
Islam dan bangsa Indonesia.

KAHMI harus menguatkan kekuatan masyarakat sipil
yang bisa bermanfaat bagi bangsa dan umat. Terutama, diharapkan dapat menambah
kekuatan middle class untuk pengembangan demokrasi yang lebih baik ke depannya.
Sebagai wadah alumni HMI yang penuh dengan pengembangan ide, dan gagasan, KAHMI
harus mempu memberikan yang terbaik buat umat, dan bangsa Indonesia.

Namun, KAHMI sebagi bagian dari civil society yang
kritis, harus tetap independen, dan mampu membatasi intervensi dengan negara.
Karena itu, KAHMI secara lembaga harus tetap menjaga independensinya dengan
kelompok politik manapun dan tidak tersubordinasi dengan Negara. Bersihkan
KAHMI ini dari unsur-unsur kepentingan politik jangka pendek, kasihanilah KAHMI
ini. Jangan dijadikan sebagai alat politik dari kelompok-kelompok politik
tertentu, hingga menjadi gerakan moral yang kuat tapi berpengaruh Ke depan,
KAHMI harus mampu berkontribusi lebih besar lagi dalam menuntaskan berbagai
masalah yang ada, seperti masalah ekonomi, hukum, soosial, politik, dan budaya.
BIOGRAFI
MAHFUD MD

Mahfud nama lengkapnya Mohammad Mahfud dilahirkan
pada 13 Mei 1957 di Omben, Sampang Madura, dari pasangan Mahmodin dan Suti
Khadidjah. Mahfud adalah anak keempat dari tujuh bersaudara, Tiga kakaknya
antara lain Dhaifah, Maihasanah dan Zahratun. Sementara ketiga adiknya bernama
Siti Hunainah, Achmad Subkhi dan Siti Marwiyah.

Mahmodin, ayahanda Mahfud berasal Desa Plakpak,
Kecamatan Pangantenan - Pamekasan Madura ini hanyalah seorang pegawai rendahan
di kantor Kecamatan Omben, Kabupaten Sampang. Nah, inisial MD di belakang nama
Mahfud adalah singkatan dari nama ayahnya, Mahmodin, dan bukan merupakan gelar
akademik seperti sebagian orang menganggapnya.

Sebenarnya sampai lulus SD tidak ada inisial MD di
belakang nama Mahfud. Baru ketika ia memasuki sekolah lanjutan pertama,
tepatnya masuk ke Pendidikan Guru Agama (PGA), tambahan nama itu bermula. Saat
di kelas I sekolah tersebut ada tiga murid yang bernama Mohammad Mahfud. Hal
itu membuat wali kelasnya meminta agar di belakang setiap nama Mahfud diberi
tanda A, B, dan C. Namun karena kode tersebut dirasa seperti nomer becak, wali
kelas lalu memutuskan untuk memasang nama ayahnya masing-masing dibelakang nama
Mahfud.
Jadilah
Mahfud memakai nama Mahfud Mahmodin sedangkan teman sekelasnya yang lain
bernama Mahfud Musyaffa’ dan Mahfud Madani. Dalam perjalanannya, Mahfud merasa
bahwa rangkaian nama Mahfud Mahmodin terdengar kurang keren sehingga Mahmodin
disingkatnya menjadi MD. Tambahan nama inisial itu semula hanya dipakai di
kelas, tetapi pada waktu penulisan ijazah kelulusan SMP (PGA), inisial itu lupa
dicoret sehingga terbawa terus sampai ijazah SMA, Perguruan Tinggi, dan Guru
Besar. Hal itu disebabkan karena nama pada ijazah di setiap tingkat dibuat
berdasarkan nama pada ijazah sebelumnya. Berangkat dari situlah nama resmi
Mahfud menjadi Moh. Mahfud MD.
Pendidikan
Mahfud MD
Sejak kecil Mahfud dididik berdasarkan pemahaman
religi Islam yang kuat, sebagaimana orang Madura pada umumnya, yakni selain
pendidikan formal di sekolah dasar di pagi hari, siangnya harus sekolah madrasah
diniyah, lalu malamnya ngaji di surau (Nah, yang ini beneran mirip waktu saya
waktu kecil).


Setamat dari SD, Mahfud dikirim belajar ke Sekolah
Pendidikan Guru Agama (PGA) Negeri di Pamekasan. Pada masa itu, ada kebanggaan
tersendiri bagi orang Madura kalau anaknya bisa menjadi guru ngaji, ustadz,
kyai atau guru agama. Lulus dari PGA, Mahfud terpilih mengikuti Pendidikan
Hakim Islam Negeri (PHIN), sebuah sekolah kejuruan unggulan milik Departemen
Agama yang terletak di Yogyakarta. Sekolah ini merekrut luluan terbaik dari PGA
dan MTs seluruh Indonesia.

Begitu tamat dari PHIN pada 1978, rencananya hendak
melanjutkan sekolah ke PTIQ (Perguruan Tinggi Ilmu al-Qur'an) di Mesir. Namun,
sambil menunggu persetujuan beasiswa, Mahfud coba-coba kuliah di Fakultas Hukum
Universitas Islam Indonesia (UII - Yogyakarta) dan Fakultas Sastra (Jurusan
Sastra Arab) UGM. Eh, dia terlanjur betah di kampus ini. Rupanya Mahfud merasa
jiwanya lebih cocok di dunia hukum. Maka ditinggalkan-lah bangku kuliah di
Fakultas Sastra UGM dan berkonsentrasi di Fak Hukum UII.
Meski harus membiayai sendiri kuliahnya, dia pun
mampu lulus sebagai sarjana hukum UII pada tahun 1983. Nah, sekian waktu
menggeluti ilmu dan dunia hukum, Mahfud merasakan kekecewaan. Ia rupanya sadar
bahwa peran dan posisi hukum relatif dan seringkali dikalahkan oleh
keputusan-keputusan politik. Akibat intervensi politik ini pun segala perangkat
hukum menjadi tumpul.

Kesadaran inilah yang kemudian mendasari Mahfud
ingin belajar ilmu politik.Maka tanpa ragu, begitu peluang menempuh S-2 ilmu
politik didapat, Mahfud pun mengambil program pasca sarjana tersebut tahun 1985
di UGM. Mahfud memang mendapat beasiswa penuh dari UII sebagai perguruan tinggi
yang mensponsori studinya ini. Di tempat inilah, Mahfud cukup beruntung karena
Mahfud menerima mata kuliah langsung dari dosen-dosen Ilmu Politik terkenal
seperti Moeljarto Tjokrowinoto, Mochtar Mas’oed, Ichlasul Amal, Yahya Muhaimin,
Amien Rais, dan lain-lain.

Selepas lulus dari Program S-2 Ilmu Politik, Mahfud
kemudian mengikuti pendidikan Doktor (S-3) dalam Ilmu Hukum Tata Negara di
Program Pasca Sarjana UGM sampai akhirnya lulus sebagai doktor (1993).
Disertasi doktornya tentang “Politik Hukum” cukup fenomenal dan menjadi bahan
bacaan pokok di program pascasarjana bidang ketatanegaraan pada berbagai
perguruan tinggi karena pendekatannya yang mengkombinasikan dua bidang ilmu
yaitu ilmu hukum dan ilmu politik.

Mahfud sempat juga menjabat sebagai Direktur Pascasarjana
UII pada 1998-2001. Dalam rentang waktu yang sama yakni 1998-1999 Mahfud juga
menjabat sebagai Asesor pada Badan Akreditasi Nasional Perguruan Tinggi.
Puncaknya, Mahfud MD dikukuhkan sebagai Guru Besar atau Profesor bidang Politik
Hukum pada tahun 2000, dalam usia masih relatif muda yakni 40 tahun.
Pencapain itu diraih Mahfud saat usianya baru akan
menginjak 41 tahun. Tidak heran jika pada waktu itu, Mahfud tergolong sebagai
Guru Besar termuda di zamannya. Satu nama yang dapat disejajarkan adalah Yusril
Ihza Mahendra, yang juga meraih gelar Guru Besar pada usia muda.

Mahfud pun tercatat sebagai dosen tetap Fakultas
Hukum UII pertama yang meraih derajat Doktor pada tahun 1993. Dia meloncat
mendahului bekas dosen dan senior-seniornya di UII, bahkan tidak sedikit dari
bekas dosen dan senior-seniornya yang kemudian menjadi mahasiswa atau
dibimbingnya dalam menempuh pendidikan pascasarjana.
Organisasi
Kemahasiswaan Kala di Bangku Kuliah
Sejak masih di bangku belajar, Mahfud sepertinya
mulai tertarik dengan hingar bingar kampanye pemilu kala orde baru berkuasa.
Nah, ini kemudian ditumpahkan setelah ia masuk perguruang tinggi. Mahfud lalu
aktif di organisasi ekstra universiter Himpunan Mahasiswa Islam (HMI).
Aktivitas politik praktis ala mahasiswa di kampus pun menjadi salah satu bagian
keseharian dia. Hal ini dibuktikan karena selain di HMI, ia juga malang
melintang di berbagai organisasi kemahasiswaan intra universiter seperti Senat
Mahasiswa, Badan Perwakilan Mahasiswa, termasuk di lembaga press kampus.
Atribut sebagai aktivis mahasiswa ini, tentu memungkinkan dia melampiaskan
energi politik praktisnya kala itu.
Mahfud juga tercatat pernah menjadi pimpinan di
majalah Mahasiswa Keadilan (tingkat Fakultas hukum - UII), serta memimpin
Majalah Mahasiswa Muhibbah (tingkat universitas). Karena begitu kritis terhadap
pemerintah Orde Baru, Majalah Muhibbah yang pernah dipimpinnya pernah dibreidel
sampai dua kali. Pertama dibreidel oleh Pangkopkamtib Soedomo (tahun 1978) dan
terakhir dibreidel oleh Menteri Penerangan Ali Moertopo pada tahun 1983.
Keluarga
Yang Berbahagia
Mahfud MD menikah dengan Zaizatun Nihayati
(dipanggil Yatie), gadis teman kuliahnya di Fakultas Hukum UII Yogyakarta, pada
tahun 1982. Yatie adalah perempuan kelahiran Jember, 18 November 1959 anak
kedua dari delapan bersaudara pasangan Sya’roni dan Shofiyah. Zaizatun Nihayati
berijazah Sarjana Hukum dan pernah bekerja sebagai guru SMU. Tetapi ketika
Mahfud diangkat menjadi menteri dan harus berpindah ke Jakarta maka
pekerjaannya sebagai guru ditinggalkan, sampai sekarang.

Mahfud dan Yatie bertemu pertama kali pada 1978
saat keduanya sama-sama aktif di Himpunan Mahasiswa Islam (HMI). Sejak 1979, keduanya mulai dekat dan akhirnya
berpacaran. Hubungan keduanya bertahan lama, sehingga pada 2 Oktober 1982,
Mahfud dan Yatie resmi menikah di Semboro, Tanggul, Jember. Dari pernikahan
itu, Mahfud dan Yatie dikaruniai tiga orang anak. Pertama adalah Mohammad
Ikhwan Zein, laki-laki kelahiran 15 Maret 1984, anak kedua adalah Vina Amalia,
gadis yang lahir 15 juli 1989, dan yang ketiga, adalah Royhan Akbar, lahir 7
Februari 1991.

Soal pendidikan, Mahfud mempercayakan ketiga
anak-anaknya untuk menempuh sekolah di sekolah-sekolah formal dan tidak ada
satupun yang dimasukkan ke pesantren. Mahfud menilai pesantren belum bisa
memberi jawaban terhadap tantangan pendidikan sekarang. Barangkali pesantren
bisa membekali untuk tahapan basic (dasar) hingga SLTP. Tapi untuk
tahap sesudah itu, pesantren kalau kondisinya seperti sekarang, belum bisa
diandalkan untuk mengantarkan anak menyongsong masa depan yang semakin berat.
Akhirul kalam, Selamat buat Mahfud MD semoga dapat
menjalankan amanah dengan baik. Amin. Wassalam… (Lafran Pane)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar