Rabu, 06 Juni 2012

Sedikit Tentang Saya


Assalamualaikum…
Saya adalah anak keenam Sutan Pangurabaan Pane. Di tangan beliaulah,  saya dididik menjadi generasi muda bangsa yang keras dan melawan. Tiga dari anaknya kemudian menjadi tokoh nasional, Armijn Pane dan Sanusi Pane (pelopor pujangga baru dan sejarawan nasional), dan saya sendiri.
Meski demikian, keluarga kami tidak begitu dikenal di kampung, di Desa Pangurabaan. Tidak banyak yang tahu kalau Sutan Pangurabaan Pane pernah hidup di antara kami sebagai figur ayah yang keras dalam mendidik anak-anaknya sehingga berhasil sebagai tokoh nasional.
Saya lahir di Padangsidempuan 5 Februari 1922. Untuk menghindari berbagai macam tafsiran, karena bertepatan dengan berdirinya HMI, maka saya mengubah tanggal lahirnya menjadi 12 April 1923. Sebelum mengenyam pendidikan di Sekolah Tinggi Islam (STI) latar belakang pendidikan yang utama dari Saya adalah Pesantren, HIS, MULO, dan AMS Muhammadiyah. Saya juga pernah belajar di sekolah-sekolah nasionalis, seperti Taman Aksara di Sipirok dan Taman Siswa di Medan.
Sebelum tamat dari STI, pada bulan April 1948, Saya ke Akademi Ilmu Politik (AIP).  Setelah Universitas Gajah Mada (UGM) dinegerikan tanggal 19 desember 1949,  AIP dimasukkan dalam Fakultas Hukum, Ekonomi, Sosial Politik (HESP). Di UGM, Lafran termasuk mahasiswa-mahasiswa yang pertama mencapai gelar sarjana, yaitu 26 Januari 1953. Sehingga Saya menjadi Sarjana Ilmu Politik yang pertama di Indonesia.
Saat berada di STI inilah saya mendirikan Himpunan Mahasiswa Islam. HMI merupakan organisasi mahasiswa  “Islam” pertama di Indonesia dengan dua tujuan utama. Pertama, mempertahankan Negara Republik Indonesia dan mempertinggi derajat rakyat Indonesia. Kedua, Menegakkan dan mengembangkan ajaran agama Islam. Dua tujuan inilah yang kelak menjadi fondasi dasar gerakan HMI sebagai organisasi maupun bagi kadr HMI secara individu.
Memang jika dilihat dari perspektif hari ini, pandangan nasionalistik rumusan tujuan tersebut barangkali tidak tampak luar biasa. Namun jika dinilai dari standar tujuan organisasi-organisasi Islam pada masa itu, tujuan nasionalistik HMI itu memberikan sebuah pengakuan bahwa Islam dan Keindonesiaan tidaklah berlawanan, tetapi berjalin berkelindan. Dengan kata lain Islam harus mampu beradaptasi dengan Indonesia, bukan sebaliknya.
Untuk mensosialisasikan gagasan keislaman-keindonesiaan saya, maka pada Kongres Muslimin Indonesia (KMI) 20-25 Desember 1949 di Yogyakarta yang dihadiri oleh 185 organisasi alim ulama dan Intelegensia seluruh Indonesia, Saya menulis sebuah artikel dalam pedoman lengkap kongres KMI (Yogyakarta, Panitia Pusat KMI Bagian Penerangan, 1949, hal 56). Artikel tersebut berjudul “Keadaan dan Kemungkinan Kebudayaan Islam di Indonesia”.
Dalam tulisan tersebut Saya membagi masyarakat Islam menjadi 4 kelompok. Pertama, golongan awam , yaitu mereka yang mengamalkan ajaran Islam itu sebagai kewajiban yang diadatkan seperti upacara kawin, mati dan selamatan. Kedua, golongan alim ulama dan pengikut-pengikutnya yang ingin agama Islam dipraktekan sesuai dengan yang dilakukan oleh Nabi Muhammad S.A.W. Ketiga, golongan alim ulama dan pengikutnya yang terpengaruh oleh mistik. Pengaruh mistik ini menyebabkan mereka berpandangan bahwa hidup hanyalah untuk akhirat saja. Mereka tidak begitu memikirkan lagi kehidupan dunia (ekonomi, politik, pendidikan). Sedangkan golongan keempat adalah golongan kecil yang mecoba menyesuaikan diri dengan kemauan zaman, selaras dengan wujud dan hakikat agama Islam. Mereka berusaha, supaya agama itu benar-benar dapat dipraktekan dalam masyarakat Indonesia sekarang ini.
Saya meyakini bahwa agama Islam dapat memenuhi keperluan-keperluan manusia pada segala waktu dan tempat, artinya dapat menselaraskan diri dengan keadaan dan keperluan masyarakat dimanapun juga. Adanya bermacam-macam bangsa yang berbeda-beda masyarakatnya, yang terganting pada faktor alam, kebiasaan, dan lain-lain. Maka kebudayaan Islam dapat diselaraskan dengan masyarakat masing-masing.
Sebagai seorang muslim dan warga Negara Republik Indonesia, Saya juga menunjukan semangat nasionalisme. Pada pidato pengukuhan Saya sebagai Guru Besar dalam mata pelajaran Ilmu Tata Negara pada Fakultas Keguruan Ilmu Sosial, IKIP Yogyakarta (sekarang UNY), Kamis 16 Juli 1970, Saya menyebutkan bahwa Pancasila merupakan hal yang tidak bisa berubah. Pancasila harus dipertahankan sebagai dasar Negara Republik Indonesia. Namun Saya juga tidak menolak beragam pandangan tentang pancasila, Saya mengatakan dalam pidato saat itu:
“Saya termasuk orang yang tidak setuju kalau Pemerintah atau MPR mengadakan interprestasi yang tegar mengenai pancasila ini, karena dengan demikian terikatlah pancasila dengan waktu. Biarkan saja setiap golongan mempunyai interpretasi sendiri-sendiri mengenai pancasila ini. Dan interpretasi golongan tersebut mungkin akan berbeda-beda sesuai dengan perkembangan zaman. Adanya interpretasi yang berbeda-beda menunjukan kemampuan pancasila ini untuk selam-lamanya sebagai dasar (filsafat) Negara “.
Demikian sedikit tentang Saya, semoga bermanfaat. Wassalam…

Tidak ada komentar: