Assalamualaikum…
Saya adalah anak keenam Sutan
Pangurabaan Pane. Di tangan beliaulah, saya dididik menjadi generasi muda
bangsa yang keras dan melawan. Tiga dari anaknya kemudian menjadi tokoh
nasional, Armijn Pane dan Sanusi Pane (pelopor pujangga baru dan sejarawan
nasional), dan saya sendiri.
Meski demikian, keluarga kami tidak
begitu dikenal di kampung, di Desa Pangurabaan. Tidak banyak yang tahu kalau
Sutan Pangurabaan Pane pernah hidup di antara kami sebagai figur ayah yang
keras dalam mendidik anak-anaknya sehingga berhasil sebagai tokoh nasional.
Saya lahir di Padangsidempuan 5
Februari 1922. Untuk menghindari berbagai macam tafsiran, karena bertepatan
dengan berdirinya HMI, maka saya mengubah tanggal lahirnya menjadi 12 April
1923. Sebelum mengenyam pendidikan di Sekolah Tinggi Islam (STI) latar belakang
pendidikan yang utama dari Saya adalah Pesantren, HIS, MULO, dan AMS
Muhammadiyah. Saya juga pernah belajar di sekolah-sekolah nasionalis, seperti
Taman Aksara di Sipirok dan Taman Siswa di Medan.
Sebelum tamat dari STI, pada bulan
April 1948, Saya ke Akademi Ilmu Politik (AIP). Setelah Universitas Gajah
Mada (UGM) dinegerikan tanggal 19 desember 1949, AIP dimasukkan dalam
Fakultas Hukum, Ekonomi, Sosial Politik (HESP). Di UGM, Lafran termasuk
mahasiswa-mahasiswa yang pertama mencapai gelar sarjana, yaitu 26 Januari 1953.
Sehingga Saya menjadi Sarjana Ilmu Politik yang pertama di Indonesia.
Saat berada di STI inilah saya
mendirikan Himpunan Mahasiswa Islam. HMI merupakan organisasi mahasiswa
“Islam” pertama di Indonesia dengan dua tujuan utama. Pertama, mempertahankan
Negara Republik Indonesia dan mempertinggi derajat rakyat Indonesia. Kedua,
Menegakkan dan mengembangkan ajaran agama Islam. Dua tujuan inilah yang kelak
menjadi fondasi dasar gerakan HMI sebagai organisasi maupun bagi kadr HMI
secara individu.
Memang jika dilihat dari perspektif
hari ini, pandangan nasionalistik rumusan tujuan tersebut barangkali tidak
tampak luar biasa. Namun jika dinilai dari standar tujuan organisasi-organisasi
Islam pada masa itu, tujuan nasionalistik HMI itu memberikan sebuah pengakuan
bahwa Islam dan Keindonesiaan tidaklah berlawanan, tetapi berjalin berkelindan.
Dengan kata lain Islam harus mampu beradaptasi dengan Indonesia, bukan sebaliknya.
Untuk mensosialisasikan gagasan
keislaman-keindonesiaan saya, maka pada Kongres Muslimin Indonesia (KMI) 20-25
Desember 1949 di Yogyakarta yang dihadiri oleh 185 organisasi alim ulama dan
Intelegensia seluruh Indonesia, Saya menulis sebuah artikel dalam pedoman
lengkap kongres KMI (Yogyakarta, Panitia Pusat KMI Bagian Penerangan, 1949, hal
56). Artikel tersebut berjudul “Keadaan dan Kemungkinan Kebudayaan
Islam di Indonesia”.
Dalam tulisan tersebut Saya membagi
masyarakat Islam menjadi 4 kelompok. Pertama, golongan awam , yaitu
mereka yang mengamalkan ajaran Islam itu sebagai kewajiban yang diadatkan
seperti upacara kawin, mati dan selamatan. Kedua, golongan alim
ulama dan pengikut-pengikutnya yang ingin agama Islam dipraktekan sesuai dengan
yang dilakukan oleh Nabi Muhammad S.A.W. Ketiga, golongan alim
ulama dan pengikutnya yang terpengaruh oleh mistik. Pengaruh mistik ini
menyebabkan mereka berpandangan bahwa hidup hanyalah untuk akhirat saja. Mereka
tidak begitu memikirkan lagi kehidupan dunia (ekonomi, politik, pendidikan).
Sedangkan golongan keempat adalah golongan kecil yang mecoba
menyesuaikan diri dengan kemauan zaman, selaras dengan wujud dan hakikat agama
Islam. Mereka berusaha, supaya agama itu benar-benar dapat dipraktekan dalam
masyarakat Indonesia sekarang ini.
Saya meyakini bahwa agama Islam
dapat memenuhi keperluan-keperluan manusia pada segala waktu dan tempat,
artinya dapat menselaraskan diri dengan keadaan dan keperluan masyarakat
dimanapun juga. Adanya bermacam-macam bangsa yang berbeda-beda masyarakatnya,
yang terganting pada faktor alam, kebiasaan, dan lain-lain. Maka kebudayaan
Islam dapat diselaraskan dengan masyarakat masing-masing.
Sebagai seorang muslim dan warga
Negara Republik Indonesia, Saya juga menunjukan semangat nasionalisme. Pada
pidato pengukuhan Saya sebagai Guru Besar dalam mata pelajaran Ilmu Tata Negara
pada Fakultas Keguruan Ilmu Sosial, IKIP Yogyakarta (sekarang UNY), Kamis 16
Juli 1970, Saya menyebutkan bahwa Pancasila merupakan hal yang tidak bisa
berubah. Pancasila harus dipertahankan sebagai dasar Negara Republik Indonesia.
Namun Saya juga tidak menolak beragam pandangan tentang pancasila, Saya
mengatakan dalam pidato saat itu:
“Saya termasuk orang yang tidak
setuju kalau Pemerintah atau MPR mengadakan interprestasi yang tegar mengenai
pancasila ini, karena dengan demikian terikatlah pancasila dengan waktu.
Biarkan saja setiap golongan mempunyai interpretasi sendiri-sendiri mengenai
pancasila ini. Dan interpretasi golongan tersebut mungkin akan berbeda-beda
sesuai dengan perkembangan zaman. Adanya interpretasi yang berbeda-beda
menunjukan kemampuan pancasila ini untuk selam-lamanya sebagai dasar (filsafat)
Negara “.
Demikian sedikit tentang Saya,
semoga bermanfaat. Wassalam…
Tidak ada komentar:
Posting Komentar