Din berasal
dari bahasa Arab dan dalam Al-Qur’an disebutkan sebanyak 92 kali. Menurut
arti bahasa(etimologi), din diartikan sebagai balasan dan ketaatan. Dalam arti
balasan, Al-Qur’an menyebutkan kata din dalam surat Al-Fatihah ayat 4, maliki
yawmiddin – “(Dialah) Pemilik (raja) hari pembalasan.“ Demikian pula dalam
sebuah hadis, din diartikan sebagai ketaatan. Rasulullah saaw bersabda, “ad-dinu
nashihah (Agama adalah ketaatan).”Sedangkan menurut terminologi Teologi, din
diartikan sebagai sekumpulan keyakinan, hukum dan norma yang akan mengantarkan
seseorang kepada kebahagiaan manusia, baik di dunia maupun di akhirat.
Berdasarkan
hal di atas, din mencakup tiga dimensi, (1) keyakinan (aqidah), (2) hukum
(syariat) dan (3) norma (akhlak). Ketiga dimensi tersebut dikemas sedemikian
rupa sehingga satu sama lain saling berkaitan dan tidak bisa dipisahkan antara
satu dengan lainnya. Dengan menjalankan din, kebahagiaan, kedamaian dan
ketenangan akan teraih di dunia dan di akhirat. Seseorang dikatakan mutadayyin
(ber-din dengan baik), jika dia dapat melengkapi dirinya dengan tiga dimensi
agama tersebut secara proporsional, sehingga dia pasti berbahagia.
Dalam
dimensi keyakinan atau aqidah, seseorang harus meyakini dan mengimani beberapa
perkara dengan kokoh dan kuat, sehingga keyakinannya tersebut tidak dapat
digoyahkan lagi. Keyakinan seperti itu akan diperoleh seseorang dengan
argumentasi (dalil aqli) yang dapat dipertahankan. Keyakinan ini pada intinya
berkisar pada keimanan kepada Allah dan hari akhirat.Adapun syariat adalah
konsekuensi logis dan praktis dari keyakinan. Mengamalkan syariat merupakan
refresentasi dari keyakinan. Sehingga sulit dipercaya jika seseorang mengaku
beriman kepada Allah dan hari akhirat tetapi tidak mengindahkan syariat-Nya,
karena syariat merupakan kewajiban dan larangan yang datang dari-Nya.
Sedangkan
akhlak adalah tuntutan akal-budi (aqal amali) yang mendorong seseorang untuk
mengindahkan norma-norma dan meninggalkan keburukan-keburukan. Seseorang belum
bisa dikatakan mutadayyin selagi tidak berakhlak - “la dina liman la
akhlaqa lahu.” Demikian pula, keliru sekali jika seseorang terlalu
mementingkan akhlak dari pada syariat. Dari ketiga dimensi din tersebut,
keyakinan (aqidah) menduduki posisi yang paling prinsip dan menentukan. Dalam
pengertian, bahwa yang menentukan seseorang itu mutadayyin atau tidak adalah
keyakinannya. Dengan kata lain, yang memisahkan seseorang yang beragama dari
yang tidak beragama (atheis) adalah keyakinannya. Lebih khusus lagi, bahwa
keyakinanlah yang menjadikan seseorang itu disebut muslim, kristiani, yahudi
atau lainnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar