Manusia
adalah satu spesies makhluk yang unik dan istimewa dibanding makhluk-makhluk
lainnya, termasuk malaikat, karena manusia dicipta dari unsur yang berbeda,
yaitu unsur hewani / materi dan unsur ruhani / immateri. Memang, dari unsur
hewani manusia tidak lebih dari binatang, bahkan lebih lemah darinya. Bukankah
banyak diantara binatang yang lebih kuat secara fisik dari manusia ? Bukankah
ada binatang yang memiliki ketajaman mata yang melebihi mata manusia ? Bukankah
ada pula binatang yang penciumannya lebih peka dan lebih tajam dari penciuman
manusia ? Dan sejumlah kelebihan-kelebihan lainnya yang dimiliki selain
manusia.
Sehubungan
ini Allah swt berfirman, “Dan manusia diciptakan dalam keadaan lemah.” (QS.
An-Nisa, 28). “Allah telah menciptakan kalian lemah, kemudian menjadi kuat,
lalu setelah kuat kalian menjadi lemah dan tua.” (QS. Rum, 54). Masih
banyak ayat lainnya yang menjelaskan hal serupa.
Karena itu,
sangatlah tidak pantas bagi manusia berbangga dengan penampilan fisiknya,
disamping itu penampilan fisik adalah wahbi sifatnya (semata-mata pemberian
dari Allah, bukan hasil usahanya).
Kelebihan
manusia terletak pada unsur ruhani (mencakup hati dan akal, keduanya bukan
materi). Dengan akalnya, manusia yang lemah secara fisik dapat menguasai dunia
dan mengatur segala yang ada di atasnya. Karena unsur inilah Allah menciptakan
segala yang ada di langit dan di bumi untuk manusia (Lihat surat Luqman ayat
20). Dalam salah satu ayat Al-Qur’an ditegaskan, “Sungguh telah kami
muliakan anak-anak Adam, kami berikan kekuasaan kepada mereka di darat dan di
laut, serta kami anugerahi mereka rizki. Dan sungguh kami utamakan mereka di
atas kebanyakan makhluk Kami lainnya.” (QS. Al-Isra 70).
Unsur akal
pada manusia, awalnya masih berupa potensi (bil-quwwah) yang perlu difaktualkan
(bil-fi’li) dan ditampakkan. Oleh karena itu, jika sebagian manusia lebih utama
dari sebagian lainnya, maka hal itu semata-mata karena hasil usahanya sendiri,
karena itu dia berhak berbangga atas lainnya. Sebagian mereka ada pula yang
tidak berusaha memfaktualkan dan menampakkan potensinya itu, atau
memfaktualkannya hanya untuk memuaskan tuntutan hewaninya, maka orang itu sama
dengan binatang, bahkan lebih hina dari binatang (QS. Al-A’raf 170 dan
Al-Furqan 42).
Termasuk ke
dalam unsur ruhani adalah fitrah. Manusia memiliki fitrah yang merupakan modal
terbesar manusia untuk maju dan sempurna. Din adalah bagian dari fitrah
manusia.
Dalam kitab
Fitrat (edisi bahasa Parsi), Syahid Muthahhari menyebutkan adanya lima macam
fitrah (kecenderungan) dalam diri manusia, yaitu mencari kebenaran (haqiqat),
condong kepada kebaikan, condong kepada keindahan, berkarya (kreasi) dan cinta
(isyq) atau menyembah (beragama). Sedangkan menurut Syeikh Ja’far Subhani,terdapat
empat macam kecenderungan pada manusia,dengan tanpa memasukan kecenderungan
berkarya seperti pendapat Syahid Muthahhari (kitab al-Ilahiyyat, juz 1).
Kecenderungan
beragama merupakan bagian dari fitrah manusia. Manusia diciptakan oleh allah
dalam bentuk cenderung beragama,dalam arti manusia mencintai kesempurnaan yang
mutlak dan hakiki serta ingin menyembah pemilik kesempurnaan tersebut. Syeikh
Taqi Mishbah Yazdi, dalam kitab Ma’arif Al-Qur’an juz 1 hal. 37, menyebutkan
adanya dua ciri fitrah, baik fitrah beragama maupun lainnya, yang terdapat pada
manusia, yaitu pertama kecenderungan-kecenderungan (fitrah) tersebut diperoleh
tanpa usaha atau ada dengan sendirinya, dan kedua fitrah tersebut ada pada
semua manusia walaupun keberadaannya pada setiap orang berbeda, ada yang kuat
dan ada pula yang lemah. Dengan demikian, manusia tidak harus dipaksa beragama,
namun cukup kembali pada dirinya untuk menyambut suara dan panggilan hatinya,
bahwa ada sesuatu yang menciptakan dirinya dan alam sekitarnya.
Meskipun
kecenderungan beragama adalah suatu yang fitri, namun untuk menentukan siapa
atau apa yang pantas dicintai dan disembah bukan merupakan bagian dari fitrah,
melainkan tugas akal yang dapat menentukannya. Jadi jawaban dari pertanyaan
mengapa manusia harus beragama, adalah bahwa beragama merupakan fitrah manusia.
Allah Ta’ala berfirman, “Maka hadapkanlah wajahmu kepada din dengan lurus,
sebagai fitrah Allah yang atasnya manusia diciptakan.” (QS. Rum 30).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar